MAKALAH
INTERAKSI OBAT
TENTANG
“INTERAKSI
OBAT PADA PENANGANAN INSOMNIA”
OLEH:
KELOMPOK
8
KELAS
II-B
ROSINA RESTI
RISKA
SRI BULQIES FAISAL
SRI HERMIYANTI
SUNARTI NINDYASARI
DOSEN :Hj. GEMY NASTITY H, S. Si, M. Si, Apt
AKADEMI
FARMASI SANDI KARSA
MAKASSAR
2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yangtelah memberi rahmat dan karunia- Nya sehingga makalah tentang “Interaksi
Obat Pada Penanganan Insomnia” ini dapat terselesaikan. Makalah ini diajukan
guna memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yangtelah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai
dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Makassar, 18
November 2014
Penyusun
Kelompok 8
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ganguan tidur merupakan salah satu
keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek.
Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin,
berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering
ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang
berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur
biologiknya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah
tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain. Menurut beberapa
peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali lebih sering
mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup Diperkirakan
jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin
meningkat sehingga menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari,
kecendrungan untuk mempergunakan obat Barbiturat dan non-barbiturat, tanpa menentukan
lebih dahulu penyebab yang mendasari penyakitnya, sehingga sering menimbulkan
masalah yang baru akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal
diatas, jelas bahwa gangguan tidur merupakan masalah kesehatan yang akan
dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang.
Insomnia
merupakan gangguan tidur yang paling sering diderita masyarakat di dunia, baik
secara primer maupun dengan adanya kondisi yang komorbid. Berdasar pada hal tersebut,
insomnia dapat menjadi masalah yang serius pada tingkat pelayanan kesehatan primer.
Dokter umum harus mampu mendiagnosis insomnia serta mampu melakukan terapi yang
tepat bagi si pasien. Faktor psikososial diperkirakan memiliki suatu hubungan
yang terkait terhadap derajat beratnya insomnia, seperti tingkat kesehatan, keadaan
depresi, kepercayaan yang salah terhadap tidur, efektifitas diri, dan faktor kependudukan.
Dengan mengetahui hubungan faktor psikososial dan insomnia, diharapkan mampu
menciptakan pola penatalaksanaan insomnia yang holistik.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Pengertian
insomnia
2. Tipe-tipe
tidur fisiologis
3. Klasifikasi
dari insomnia
4. Mekanisme
tidur normal dan insomnia
5. Penyebab
insomnia dan penanganannya
6. Interaksi
obat pada penanganan insomnia
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari
insomnia
2. Untuk mengetahui tipe-tipe dari
tidur fisiologis
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari
insomnia
4. Untuk mengetahui mekanisme tidur
normal dan insomnia
5. Untuk mengetahui penyebab insomnia dan
penanganannya
6. Untuk mengetahui bagaimana interaksi
obat pada penanganan insomnia
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, maka pembacatidak
hanya mengetahui pengertian dari insomnia saja, tetapi dapat mengetahui dan
memahami lebih jauh tentang tipe-tipe, klasifikasi, mekanisme, dan penyebab
insomnia dan penanganannya hingga mengetahui bagaimana interaksi obat pada penanganan insomnia serta
dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian Insomnia
Insomnia
adalah kesulitan untuk memulai tidur atau kesulitan untuk mempertahankan
tidur, atau gangguan tidur yang
membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat
terbangun (Jack D. 2001).
Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV) mendefinisikan
insomnia sebagai suatu kesulitan dalam memulai tidur; mempertahankan tidur;
atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih, sehingga
menyebabkan gangguan klinis signifikan atau distress (Sadock BJ. 2009).
Sebuah
studi mengungkapkan bahwa kejadian insomnia mempengaruhi hingga 15% - 40%
populasi dunia. Insomnia memiliki predominansi terhadap perempuan. Sekitar 25%
kasus
insomnia dialami pada usia 65 -79
tahun dan 14% terjadi pada usia 18 – 34 tahun (Najib J. 2006).
Penelitian
yang dikerjakan oleh Buysse dkk pada 216 pasien, menunjukkan prevalensi
insomnia sekunder lebih banyak
daripada yang primer dan sering terkait dengan gangguan mental, gangguan
pernafasan atau fisik, dan penggunaan obat-obatan (Budur K. 2007).
2.2 Tidur Fisiologis
Tidur
merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan
mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akankembali
mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Semua
makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam
siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral
anterior hypothalamus. Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan
sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata
yang disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblogata
disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Iskandar J. 2002)
Tidur
dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement
(NREM)
Fase
awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20
jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur
diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa (Iskandar J.
2002).
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1. Tidur stadium Satu.
Fase ini merupakan antara fase
terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus
otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya
berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya
terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan
amplitudo yang
rendah. Tidak didapatkan adanya
gelombang sleep spindle dan kompleks K (Iskandar J. 2002).
2. Tidur stadium dua
Pada
fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang,
tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang
theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan
komplek K (Iskandar J. 2002).
3. Tidur stadium tiga
Fase
ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak
gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle
(Iskandar J. 2002).
4. Tidur stadium empat
Merupakan
tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh
gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle (Iskandar J. 2002).
Fase
tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah
itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung
lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot
yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat
menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi
penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah
sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili
50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM
tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga
persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan
kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awall tidur yang
didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi
fase tidur sebagai berikut (Iskandar J. 2002).
- NREM (75%) yaitu stadium 1: 5%;
stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%
- REM; 25 %.
2.2 Klasifikasi
Insomnia
Banyak
usaha telah dilakukan untuk membagit pe insomnia. Salah satu metode adalah
berdasarkan pada durasi gejala, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu insomnia dan
akut. National Instiutes of Health (NIH) State-of-the-Science 2005menyatakan
bahwa periode jangka waktu yang berbeda telah digunakan untuk mendefinisikan
insomnia kronis, mulai dari 30 hari hinga 6 bulan (Karl D. 2006).
Berbeda
dengan insomnia akut/ransien, insomnia transien selalunya disebabkanlingkungan
yang spesifik atau peristiwa sosial, seperti kerja shift, kematian orang yang
dicintai, perjalanan lewat udara, kebisingan dan mungkinlebih tepat ditangani
dengan menangani stres ini dan menangani insomnia secara langsung (dan sering sebagai
profilaksis). Di sisi lain, insomnia kronis mungkin lebih sering dikaitkan
dengan ganguan tidur intrinsik, insomnia primer atau kondisi medis dan
psikiatris yang kronis dan mungkin membutuhkan evaluasi lebih lanjut (termasuk
penilaian kondisi komorbiditas) untuk menentukan pengobatan yang tepat. Namun,
perlu ditekankan bahwa hubungan antara durasi tidur, etiologi, dan implikasi
dari evaluasi belum juga diselidiki (Erika N.2004).
Insomnia
dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu subtipe primer dan sekunder.
Istilah primer menandakan bahwa insomnia yang tidak disebabkan oleh kondisi
fisik atau mental yang diketahui tetapi ditandai oleh satu kumpulan gejala yang
konsisten, perjalanan penyakit yang pasti dan respon umum terhadap pengobatan,
meskipun etiologi insomnia primer belum diklarifikasi, penelitan terbaru
mengaitkan endokrin, neurologi, dan faktor-faktor perilaku
sebagaipenyumbangterhadap pathogenesisnya. Diperkirakan bahwa diantara pasien
yangdidiagnosis dengan insomnia,25% sampai 30% menderita insomnia primer. Sebaliknya,
insomnia sekunder didefinisikan secara historis sebagai insomnia yang
disebabkan oleh penyakit medis dan psikiatris lain yangdisebabkan pengunaan
obat- obatan atau ganguan tidur primer lainnya. Bagaimanapun, NIH State-of-the-
Science statement 2005, telah menyarankan pengunan istilah komorbidinsomnia,
daripada insomnia sekunder, yang berdasarkan pada terbatasnya tingkat pemahaman
mengenai hubungan kausal yang terjadi antara insomnia dan ganguan penyerta.
Insomnia primer dapat terjadi secara independen dalam konteks ganguan lain (Karl
D. 2006).
Internasional
Classification of Sleep Disorders (Iskandar J. 2002)
1. Dissomnia
• Gangguan tidur intrisik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak
periodik, sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post
traumatik kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
• Gangguan tidur ekstrisik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan,
perubahan posisi tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat Barbiturat dan
non-barbiturat atau stimulant.
• Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal
kerja, sindroma fase terlambat tidur, sindroma fase tidur belum waktunya,
bangun tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
2. Parasomnia
• Gangguan aurosal
Gangguan
tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional
• Gangguan antara bangun-tidur
Gerak
tiba-tiba, tidur berbicara,kramkaki, gangguan gerak berirama
• Berhubungan dengan fase REM
Gangguan
mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arrest
• Parasomnia lain-lainnya
Bruxism
(otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia parosismal.
3. Gangguan tidur
berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
• Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan
afektif, panik (nyeri hebat), alkohol
• Berhubungan dengan kondisi
kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia,
parkinson, multiple sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala,
Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindroma.
• Berhubungan dengan kondisi
kesehatan
Penyakit
asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma fibrositis, refluks gastrointestinal,
penyakit paru kronik (PPOK).
2.4 Penyebab Insomnia
Perkiran
prevalensi insomnia bervariasi karena definisi dan kriteria diagnostic untuk
insomnia adalah tidak konsisten. Selain itu, pengunan penilaian awal dan
kontrol untuk membuktikan insiden dan tingkat remisi dapat menimbulkan masalah
karena spektrum durasi insomnia yang luas (misalnya, pada awalnya ditemukan
positf insomnia dan pada saat kontrol 1 tahun berikutnya menunjukan insomnia
kronis atau 2 episode insomnia transien) (Karl D. 2006).
Dengan
keterbatasan ini,secara umumnya diyakinkan bahwa 10% hinga 15% orang dewasa
menderita insomnia kronis, biasanya diangap sebagai insomnia persisten selama
lebih dari 1 bulan durasi, dan tambahan sepertiga memiliki insomnia transien
atau sementara (Karl D. 2006).
Orang
usia lanjut khususnya mengalami insomnia, dengan prevalensi diperkirakan antara
13% hinga 47%.9,10Tiga tahun studi longitudinal oleh National Instiute on
Aging’s Established Populations for Epidemiologic Studies of the Elderly
(EPESE) menunjukan bahwa 42% dari komunitas yang lanjut usia yang
berpartisipasi dalam survei mengalami kesulitan memulai dan mempertahankan
tidur (Foley DJ. 1995).
Kesulitan
tidur lebih sering di kalangan orang usia lanjut dengan cacat pada fisik,
depresi, gejala pernapasan dan mereka yang sedang mendapatkan pengobatan
anticemas dan barbiturat. Kontrol3 tahun oleh EPESE, Foley et al memperkirakan
insiden dan tingkat remisi untuk insomnia adalah lebihdari 600 peserta dari
survei asalnya. Antara 4956 peserta yang tidak memil ki gejala insomnia pada
awal, hampir 15% melaporkan gejala pada control 3 tahun berikutnya ,
mengusulkan kejadian tahunan adalah 5% (Foley DJ. 1999).
Dalam
studi yang sama, sekitar 15% peserta, mengalami pengurangan gejala insomnia
setiap tahun nya. Ekstrapolasi hasil ini ke populasi umum, penulismemperkirakan
bahwa 8 juta orang usia lanjut di seluruh negara menderita insomnia pada setiap
hari tertentu, lebih dari satu juta kasus baru insomnia berkembang setiap
tahun, dan gejala-gejala insomnia hilang pada hampir 1,3 juta orang usia lanjut
setiap tahun. Ganguan tidur juga berhubungan dengan ganguan memori dan
konsentrasi dan dapat disalahartikan sebagai tanda-tandademensia di kalangan
orang usia lanjut (Foley DJ. 1999).
Meskipun
kebanyakan studi epidemiologi menunjukan bahwa wanita lebih cenderung memilki
kesulitan tidur daripada laki-laki, studi EPESE melaporkan angka yang sebanding
pada kedua jenis kelamin. Pengecualian untuk persaman ini terjadi pada pasien
85 tahun atau lebih, di mana prevalensi lebih tingi bagi laki-laki.1studi EPESE
juga menunjukan bahwa wanita rendah kemungkinan untuk mencapai remisi (46% pada
wanita berbanding 52% pada laki-laki), prevalensi yang lebih tingi pada wanita
dilaporkan dalam studi epidemiologi lainyang menunjukan sedikit remisi pada
wanita. Hipotesis ini didukung olehtemuan Cardiovascular Health Study 2005 yang
melaporkan bahwa remisi kurangberlaku pada wanita berbanding laki-laki (R.George
L. 2010).
Selain
studi EPESE pasien usia lanjut, beberapa studi longitudinal lain ya telah membantu
untuk mengklarifikasi perjalanan alamiah insomnia kronis. Breslau et al
melakukan penilaian awal dan kontrol 3,5 tahun berikutnya pada 120 orang dewasa
muda (21-30 tahun) yang diambil secara acak dari data organisasi pemeliharan
kesehatan. Prevalensi insomnia pada populasi ini adalah 24, 6%, dan sedikit
lebih tingi pada wanita dibandingkan laki-laki (26,7% berbanding 21,4%).
Insiden insomnia baru pada 3,5 tahun pada peserta yang pada awalnya tidak
mengalami insomnia, adalah 14,8% untuk wanita dan 10,6% untuk laki-laki,
sedikit kurang dibandingkan tingkat kejadian dilaporkan oleh studi EPESE (Karl
D. 2006).
Sebelum
mencari diagnosa penyebab suatu gangguan tidur, sebaiknya ditentukan terlebih
dahulu jenis danlamanya gangguan tidur (duration of sleep disorder), dengan
mengetahui jenis dan lamanya gangguan tidur, selain untuk membantu
mengidentifikasi penyebabnya, juga dapat memberikan pengobatan yang adekuat
(Iskandar J. 2002).
· Pada
tahun 1984, The
International Institute of Health membuat suatu konsensus pengelompokan
gangguan tidur berdasarkan lamanya gangguan yang terdiri dari:
1. Transient yaitu jika gangguan
tidurnya kurang dari 7 hari.
2.
Short term yaitu jika gangguan tidurnya menetap lebih dari 7 hari dan kurang
dari 3 minggu. Kedua gangguan tersebut biasanya berhubungan dengan stress yang
akut seperti perubahan kehidupan sosial, peningkatanemosional, faktor
lingkungan, faktor sistemik, kelainan gangguan kesehatan, desinkronisaso irama
sirkadian.
3. Long term yaitu jika gangguan
tidur menetap lebih dari 3 minggu. Biasanya berhubungan dengan gangguan tidur
primer, gangguan psikiatri, gangguan kesehatan, gangguan psikologi.
· Pada
tahun 1990, American
Sleep Disorders Association membuat reklasifikasi untuk mencari kemungkinan penyebab
gangunan tidur menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Dissomnia, misalnya gangguan
intrisik, gangguan ekstrisik, gangguan irama sirkadian.
2. Parasomnia, misalnya gangguan
aurosal, gangguan bangun-tidur, berhubungan fase REM.
2.5 Mekanisme
Tidur Normal dan Insomnia
Manusia
dewasa tidur hampir sepertiga waktu hidupnya. Saat tidur, terjadi proses yang
bersifat dinamis, bersiklus dan memiliki tahapan yang berbeda. Tidur terbagi ke
dalam 2 tipe : Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM) (Goetz
CG. 2003).
Tidur
malam yang normal terdiri dari siklus konstan antara tidur NREM dengan tidur
REM. Pada usia dewasa muda, hanya terjadi 4-6 siklus tidur setiap malamnya, yang
berawal dari tidur NREM. Orang dewasa dapat memulai tidur dalam waktu 15-20 menit,
dan mengalami tidur laten selama 30 menit. Lebih dari itu dikatakan mengalami pemanjangan.
Tidur laten didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai onset
tidur dimulai dari waktu seseorang berbaring dan mematikan penerangan. Tidur NREM
terbagi menjadi 4 tahap. Tahap 1 NREM berlangsung beberapa menit dan masuk ke
tahap 2, begitu juga selanjutnya masuk ke tahap 3 dan 4. Kemudian masuk ke
tahap tidur REM setelah melewati fase REM laten. REM laten merupakan istilah
berupa interval diantara onset tidur tahap 1 NREM dengan periode awal tidur
REM. Biasanya berlangsung selama 90 menit dan berlangsung konstan dalam
siklusnya. Setelah semuanya terlewati dari onset awal tidur hingga akhir tidur
REM disebut satu siklus tidur, dan akan berulang ke siklus selanjutnya (Levin
KH. 2003).
Tahap
1 dan 2 disebut tidur ringan, tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam. Hasil pemeriksaan
menggunakan electroencephalography (EEG) pada tidur tahap 1 menemukan dominasi
ritme gelombang theta dibandingkan ritme gelombang alpha. Ritme tersebut
memiliki amplitudo rendah bercampur dengan aktivitas gelombang delta(Levin KH.
2003).
Tahap
1 meliputi 5% keseluruhan waktu tidur. Ditandai dengan pergerakan lambat pada
bola mata dengan arah horizontal. Tahap 2 meliputi 55% waktu tidur (Goetz CG.
2003).
Fase
ditandai dengan munculnya kompleks K (gelombang tajam negatif diikuti komponen
positif) pada rekaman EEG. Pada saat ini muncul aktivitas gelombang theta dan
gelombang delta bervoltase rendah atau sedang, nampak pada sleep spindle (Levin
KH.2003).
Tahap
3 ditandai dengan penemuan aktivitas gelombang delta bervoltase tinggi sebanyak
20%. Jika aktivitas gelombang delta bervoltase tinggi mencapai 50%, maka akan
masuk tidur NREM tahap 4 (Levin KH. 2003).
Dua
puluh persen dari total waktu tidur saat malam hari, merupakan fase tidur tahap
3 dan 4 (Goetz CG. 2003).
Saat
malam hari, tidur REM pada manusia dewasa muncul setelah 90-100 menit setelah
onset tidur, yang akan diikuti dengan tidur NREM. Tidur REM rata-rata berlangsung
singkat dalam semalam. Secara progresif durasinya akan memanjang, yang paling
lama terjadi saat pagi hari. Tidur REM pada bayi dapat mencapai 50-80% total tidur,
sedangkan pada usia 2 tahun dan orang dewasa akan menurun frekuensinya hingga
20%. Tidur REM ditandai aktivitas gelombang theta dan gelombang delta yang tidak
beraturan. Gelombang ini memiliki voltase rendah (mirip tahap 1 tidur NREM). Tidur
REM juga ditandai dengan penurunan aktivitas otot (atonia pada seluruh otot, kecuali
otot pernafasan) dan pergerakan cepat dari bola mata (saat bola mata bergerak cepat,
EEG menangkap ritme gelombang delta atau theta) (Levin KH. 2003).
Stimulasi
pada bagian hipotalamus posterior, di daerah rostral bagian otaktengah,
menghasilkan arousal yang dimediasi neuron histaminergik. Neuron ini menghubungkan
sel-sel batang otak dengan sel-sel yang berada di otak depan. Kerusakan pada
bagian ini menimbulkan peningkatan jumlah tidur. Sama halnya dengan memberikan
antihistamin. Sebaliknya pada hipotalamus anterior dan batas bagian basal otak
depan dengan cepat memicu kondisi tidur. Lesi di bagian ini dapat 5menyebabkan berkurangnya waktu tidur (memicu
insomnia) (Levin KH. 2003).
Neurotransmiter
inhibitor Gamma Amino Butyric Acid (GABA) / non-REM-on cells merupakan mediatornya.
Sel-sel tersebut dapat memicu tidur dengan menghambat sel-sel histaminergik
pada hipotalamus posterior begitu juga yang dilakukan pada nuclei retikularis
oralis pontis di otak tengah yang memicu arousal. GABA aktif saat tidur NREM
dan inaktif saat tidur REM (Kandel ER. 2003).
2.6 Penanganan
Insomnia
Ø Penanganan dengan terapi farmakologi
Hampir
semua orang pernah menglami insomnia, terutama pada saat tegang yang tidak
lazim atau pada saat kecewa. Untuk jangka pendek dokter dapat memberikan
sedative atau pil tidur (Richard H. 1989).
Dua
jenis obat yang biasa diberikan sebagai pil tidur adalah senyawa barbiturat dan
non-barbiturat. Pil tidur yang diperdagangkan secara bebas mengandung
antihistamin yang menimbulkan efek samping mengantuk (dalam halini efek samping
yang dikehendaki) (Richard H. 1989).
·
Nama Paten(Richard H. 1989)
1. Pil tidur Barbiturat
Fenobarbital Luminal
Alurate Mebaral
Amytal Nembutal
Butisol Seconal
Carbrital Sedadrops
Eskabarb Solfoton
Lotusate Tuinal
2. Pil tidur Non-Barbiturat
Ativan (lorazepam) – juga diberikan
sebagai trankuilansia siang hari
Dalmane (flurazepam) Placidyl (etklorfinol)
Doriden (glutetimid) Quaalude (metakualon)
Halcion (triazolam) Restoril (temazepam)
Noctec (kloral hidrat) Somnos (kloral hidrat)
Noludar (metiprilon) Triclos (triklofos)
Parest (metakualon) Valmid (etinamat)
3. Pil tidur dengan Antihistamin (tanpa
resep dokter)
Compoz (difenhidramin) Sleep-Eze (pirilamin)
Nervine (pirilamin) Sominex (pirilamin)
Nytol (pirilamin) Sominex Formula 2 (difenhidramin)
Quiet World (pirilamin) Unisom (doksilamin)
·
Interaksi Obat pada Penanganan
Insomnia
Pil Tidur – Depresan lain
Pil
tidur adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu
fungsi seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang
berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang
juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang
koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan
peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian
(Richard H. 1989).
Kelompok obat depresan yang
berinteraksi dan nama paten (Richard H. 1989):
Alkohol
(bir, minuman keras, anggur, dll)
Antikolinergik
– Penggunaan dan nama paten: Obat
yang digunakan untuk mengendalikan tremor karena penyakit Parkinson atau karena
pengobatan dengan antipsikotika: Akineton,
Artane, Cogentin, Kemadrin, Pagitane.
Antidepresan (jenis siklik) – Digunakan untuk
mngurangi tekanan mental. Nama paten: Adapin,
Asendin, Aventyl, Desyrel, Elavil, Endep, Etravon, Limbitrol, Ludiomil,
Norpramin, Pamelor, Petrofrane, Sinequan, Surmontil, Tofranil, Trivial,
Vivactil.
Antihistamin
(digunakan untuk alergi, flu). Nama
Paten: Actidil, Antivert, atarax,
Benadryl, Bendectin, Bonine, Chlor-Trimeton, clistin, Decapryn,Dimetane,
Dramamine, Hitadyl, Inhiston, Marezine,
Optimine, PBZ, Periactin, Polaramine, Pyronil, Travist, Teldrin, Triten,
Vistaril.
Antipsokotika
(digunakan pada gangguan mental
berat). Nama paten: Compazine,Haldol,
Loxitane, Mellaril, Moban, Navane, Proketazine, Prolixin, Quide, Serentil,
Sparine, Stelazine, Tractan, Thorazine, Tindal, Trilafon, Vesprin.
Fenfluramine
(Pondimin), (pil pelangsing).
Obat
Tekanan Darah Tinggi
(Nama paten dalam kurung): Klonidin
(Catapres, Combires), Guanabenz (Wytensin), Metildopa (Aldoclor, Aldomet,
Aldoril).
Pelemas
Ototnama paten: Dantrium, Flexeril, Lioresal, Norflex, Norgesic, Paraflex, Quinamm,
Rela, Robaxin, skelaxin, Valium.
Narkotika,
sediaan mengandung kodein: Ascriptin m/Kodein, Bancap m/Kodein,
Bufferin m/Kodein, Empirin m/Kodein, Tylenol m/Kodein.
Sediaan narkotika atau mirip
narkotika lainnya: Demerol, Dolophene,
Morfin, Merpergan Fortis, Norcet, Numorphan, Vicodan, Zactirin.
Propoksifen
(penghilang rasa nyeri): Darvocet-N, Darvon, Dolene, Wygesic.
Trankuilansia
Trankuilansia benzodiazepine: Ativan, Centrax, Librium, Limbitrol, (juga
suatu antidepresan, Paxidam, Serax, Tranxene, Valium, Xanax.
Trankuilansia non-benzodiazepin: Atarax, Equanil, Meprospan, Mebrotab,
Miltown, Trancopal, Vistaril (Karen Baxter, 2008).
Barbiturat –
Kortikosteroida
Efek
kortikosteroida dapat berkurang. Kortikosteroida diberikan untuk mengobati
artritis, alergi berat, asma, gangguan endokrin, leukemia, colitis dan
enteritis (inflamasi saluran intestinal), dan berbagai penyakit kulit,
paru-paru, dan mata. Akibatnya: Kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali
dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten kortikosteroida (nama
generic dalam kurung):
Aristocort (triamsinolon) Kenacort (triamsinolon)
Celestone (betametason) Medrol (metilprednisolon)
Coetef (hidrokortison) Meticorten
(prednisone)
Barbiturat – Digitoksin
(Crystodigin, Purodigin)
Efek
digitoksin dapat berkurang. Digitoksin digunakan untuk layu jantung dan untuk
menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur. Akibatnya: Gangguan
jantung mungkin tak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Doksisiklin
(Doxychel, Vibramycin, Vibratab)
Efek
doksisiklin dapat berkurang. Doksisiklin adalah antibiotika yang digunakan
untuk mengobati infeksi. Akibatnya: Infeksi mungkin tidak terkendali dengan
baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Estrogen (hormone
wanita)
Efek
estrogen dapat berkurang. Estrogen digunakan untuk mengatasi kekurangan
estrogen selama mati haid dan sesudah histerektomi untuk mencegah pembengkakan
yang nyeri pada payudara sesudah melahirkan karena ibu tidak menyusui bayinya,
dan untuk mengobati amenore. Akibatnya: kondisi yan diobati mungkin tidak
terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten estrogen:
Amen Menrium
Aygestin Milprem
DES Norlutate
Barbiturat – Asam Folat
(Vitamin B9)
Efek
asam folat dapat berkurang. Asam folat adalah salah satu komponen vitamin B
komplekx. Akibatnya: Mungkin kekurangan asam folat dengan disertai gejala tak
bertenaga, kehilangan daya ingat yang tak lazim, kulit muka pucat, gelisah dan
mudah terangsang, dan gangguan saluran cerna. Untuk melawan efek interaksi,
gunakan vitamin tambahan yang mengandung asam folat atau bauh segar dan sayuran
hijau lainnya setiap hari (Richard H. 1989).
Barbiturat – Griseofulvin
Efek
griseofulvindapat berkurang. Griseofulvin digunakan secara oral untuk melawan
infeksi jamur pada rambut, kulit, kuku jari tangan, dan kuku jari kaki.
Akibatnya: Infeksi mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten griseofulvin:
Fulvicin P/G Grisactin
Fulvicin U/F Gris-PEG
Grifulvin
Barbiturat – Metadon
(Dolophine)
Efek
metadon dapat berkurang. Metadon adalah narkotika penghilang rasa nyeri yang
digunakan untuk membantu membbaskan pecandu obat dari ketergantungan pada
heroin dan narkotika lainnya. Akibatnya: Kecanduan mungkin tidak terkendali
dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Fenitoin
(Dilantin)
Efek
fenitoin dapat berkurang. Fenitoin adalah antikonvulsan yang diberikan untuk
mengendalikan kejang pada gangguan seperti ayan. Akibatnya: Gangguan kejang
mungkin tidak terkendali dengan baik. Karena dokter sering menulis resep yang
mengandung barbiturate bersama-sama dengan fenitoin untuk mengendalikan kejang,
kadar-darah obat harus dipantau untuk menetukan takaran obat yang tepat pada
setiap pasien secara peroranagan. Obat fenitoin lain menunjukkan interaksi
adalah Mesantoin (mefenitoin) dan Peganone (etotoin) (Richard H. 1989).
Barbiturat – Kinidin
Efek
kinidin dapat berkurang. Kinidin adalah antiaritmika yang digunakan untuk
menormalkan kembali denyut jantung yang tidak beraturan. Akibatnya:
Ketidakteraturan denyut jantung mungkin tidak terkendali (Richard H. 1989).
Nama paten kinidin:
Cardioquin Quinidex
Duraquin Extentabs
Quinaglute Dura-Tabs Quinora
Barbiturat – Kinin
(Coco-Quinine, Quinamm, Quine)
Efek
kinin dapat berkurang. Kinin adalah obat malaria yang dapat diperoleh tanpa
resep dokter dan dapat pula digunakan untuk menghilangkan kejang kaki pada
malam hari. Akibatnya: kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan
baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Rifampin
(Rifadin, Rimactane)
Efek
berbiturat dapat berkurang. Akibatnya: Insomnia mungkin tidak hilang benar.
Rifampin digunakan untuk mengobati tuberculosis dan dapat pula diberikan pada
orang yang diperkirakan pengidap meningitis (Richard H. 1989).
Barbiturat (hanya
fenobarbital) – Asam Valproat (Depakene)
Efek
fenobarbital dapat meningkat. Akibatnya: karena kedua obat adalah depresan
susunan saraf pusat, waspadalah terhadap gejala depresan berlebihan seperti
mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental. Asam
valproate adalah antikonvulsan yang digunakan untuk mencega kejang pada
gangguan seperti ayan (Richard H. 1989).
Kloral Hidrat (Noctec,
Somnos) – Alkohol (bir, minuman keras, anggur, dll)
Kombinasi
ini dapat menimbulkan reaksi seperti yang disebabkan oleh disulfiram.
Disulfiram (Antabuse) adalah obat yang diberikan kepada pecandu alcohol untuk
menekan keinginan minum alcohol sehingga menimbulkan efek samping yang hebat.
Kloral hidrat menunjukkan intraksi dan gejala yang sama seperti pusing, muka
merah, sakit kepala, dan napas pendek (Richard H. 1989).
Kloral Hidrat (Noctec,
Somnos) – Antikoagulan
Efek
antikoagulan dapat berkurang. Antikoagulan digunakan untuk mngencerkan darah
dan untuk mencegah pembekuan. Akibatnya: Risiko perdarahan meningkat. Gejala
yang dilaporkan: Memar atau perdarahan diseluruh tubuh dan tinja hitam pekat
(Richard H. 1989).
Nama paten antikoagulan (nama
generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin) Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin) Miradon
(anisindion)
Coumadin (warfarin) Panwarfin (warfarin)
Etklorvinol (Placidyl) –
Antikoagulan
Efek
antikoagulan dapat berkurang. Antikoagulan digunakan untuk mngencerkan darah
dan untuk mencegah pembekuan. Akibatnya: Darah tetap membeku meskipun dilakukan
pengobatan dengan antikoagulan (Richard H.1989).
Nama paten antikoagulan (nama
generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin) Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin) Miradon
(anisindion)
Coumadin (warfarin) Panwarfin (warfarin)
Etinamat (Valmid)
Etinamat
adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi
seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang
berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang
juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang
koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan
peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian
(Richard H. 1989).
Flurazepam (Dalmane) –
Antidepresan (jenis siklik)
Efek
antidepresan dapat berkurang. Antidepresan digunakan untuk meringankan tekanan
mental dan unuk memperbaiki suasana hati. Akibatnya: Tekanan mental mungkin
tidak terkendali dengan baik. Catatan: Antidepresan trazadon (Desyrel) mungkin
tidak berinteraksi kecuali yang berikut ini: Karena keduanya adalah depresan
susunan saraf pusat, dapat terjadi kelelahan tubuh yang berlebihan disertai
gejala mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam
beberapa kasus, terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan sehingga
menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Nama paten obat antidepresan (nama
generic dalam kurung):
Adapin (doksepin) Ludiomil
(maprotilin)
Asendin (amoksapin) Norpramin (desipramin)
Aventyl (trazadon) Pamelor
(nortriptilin)
Desyrel (trazadon) Pertofrane
(desipramin)
Elavil (amitriptilin) Sinequan
(doksepin)
Flurazepam (Dalmane) –
Obat Asma (golongan teofilin)
Efek
obat asma dapat berkurang. Obat asma digunakan untuk membuka jalan udara
diparu-paru dan untuk mempermudah pernapasan penderita asma. Akibatnya: Asma
mungkin tidak sembuh dengan sempurna (Richard H. 1989).
Nama paten obat asma golongan
teofilin (nama generic dalm kurung):
Accubron (teofili) Respbid (teofilin)
Bronkodyl (teofilin) Slo-phyllin
(teofilin)
Choledyl (okstrifilin) Somophyllin
(aminofilin)
Dilor (difilin) Somophyllin-T
(teofilin)
Elixicon (teofilin) Sustaire
(teofilin)
Sediaan campuran mengandung
teofilin: Amesec, Asbron G, Brondecom, Marax, Mudrane, Quibron, Tdral SA.
Flurazepam (Dalmane) – Pil
KB
Efek
pil KB dapat berkurang. Akibatnya: Risiko hamil meningkat 25 kali, kecuali jika
digunakan cara kontrasepsi lain. Perdarahan yang sekonyong-konyong adalah
gejala kemungkinan terjadinya interaksi (Richard H. 1989).
Nama paten pil KB:
Brevicon Nordette
Demulen Norinyl
Enovid Norlestrin
Loestrin Ortho-Novum
Lo-Ovral Ovcon
Flurazepam (Dalmane) –
Simetidin (Tegamet)
Efek
flurazepam dapat meningkat. Akibatnya: Sedasi berlebihan dan penekanan susunan
saraf pusat disertai gejala pusing, mengantuk, nanar; dalam kasus berat,
terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan yang menyebabkan koma
dan kematian. Simetidin digunakan untuk mengobati tukak lambung dan usus
(Richard H. 1989).
Flurazepam (Dalmane) –
Estrogen (hormon wanita)
Efek
estrogen dapat berkurang. Estrogen digunakan untuk mengatasi kekurangan
estrogen selama mati haid dan sesudah histerektomi untuk mencegah pembengkakan
yang nyeri pada payudara sesudah melahirkan karena ibu tidak menyusui bayinya,
dan untuk mengobati amenore. Akibatnya: kondisi yan diobati mungkin tidak
terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten estrogen:
Amen Menrium
Aygestin Milprem
DES Norlutate
Estinyl Norlutin
Estrace Ogen
Estratab PMB
Flurazepam (Dalmane) –
Levodopa (Dopar, Levodopa, Sinemet)
Efek
levodopa dapat berkurang. Levodopa digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson.
Akibatnya: Kondisi yang diobati mungkin tidak terobati denan baik (Richard H.
1989).
Flurazepam (Dalmane) –
Rifampin (Rifadin, Rimactane)
Efek
flurazepam dapat berkurang. Akibatnya: Insomnia mungkin tidak terobati dengan
baik. Rifampin digunakan untuk mengobati penyakit tuberculosis dan tidak boleh
diberikan pada pasien yang mengidap meningitis (Richard H. 1989).
* Glutetimid (Doriden) –
Antikoagulan
Efek
antikoagulan dapat berkurang.Antikoagulan digunakan untuk mengencerkan darah
dan mencegah pembekuan. Akibatnya: Darah mungkin tetap membeku pada waktu
dilakuukan pengobatan dengan antikoagulan (Richard H.1989).
Nama paten antikoagulan (nama
generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin) Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin) Miradon
(anisindion)
Coumadin (warfarin) Panwarfin (warfarin)
Triazolum (Halcion)
Lihat interaksi Flurazepam.
Lorazepam (Ativan)
Lihat interaksi Flurazepam.
Metakualon (Parest,
Quaalude)
Metaqualon
adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi
seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang
berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang
juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang
koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan
peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian
(Richard H. 1989).
Metiprilon (Noludar)
Metiprilon
adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi
seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang
berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang
juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang
koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan
peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian
(Richard H. 1989).
Temazepam (Restoril)
Lihat interaksi Flurazepam.
Triklofos (Triclos) –
Alkohol (bir, minuman keras, anggur, dll)
Kombinasi
ini dapat menyebabkan reaksi yang sama dengan reaksi yang disebabkan oleh
disulfiram. Disulfiram (Antabuse) adalah obat yang diberikan kepada pecandu
alcohol untuk menekan keinginan minum alcohol – obat bereaksi dengan alcohol
sehingga menimbulkan efek samping yang hebat. Triklofos menunjukkan interaksi
dan gejala yang sama seperti pusing, muka merah, sakit kepala, dan nafas pendek
(Richard H. 1989).
Ø Penangan dengan terapi non-farmakologi
Mind
Body Therapy (MBT) merupakan suatu intervensi yang menggunakan teknik bervariasi
digunakan untuk meningkatkan kemampuan pikiran sehingga dapat mempengaruhi
fungsi tubuh dan memperbaiki keluhan. Contohnya : berimajinasi, meditasi, yoga, terapi musik, berdoa, journaling,
biofeedback, humor, tai chi dan terapi seni (Synder N. 2010).
Diantara
teknik-teknik tersebut, relaksasi dan meditasi paling banyak dipilih oleh masyarakat,
mencapai 10-16.3%. Berdasarkan review uji coba dan meta analisa, MBT memberi
manfaat terapi bila diberikan tunggal ataupun sebagai adjuvan terapi farmakologi
(Astin JA. 2003).
Dalam
meditasi telah diterapkan teknik relaksasi, sehingga meditasi merupakan terapi
alternatif yang memiliki sifat praktis dan bermanfaat. Meditasi adalah suatu proses
pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian, dilakukan secara sadar.
Proses berjalan bertahap sesuai keteraturan latihan, dapat dilanjutkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengalaman yang diperoleh akan merangsang untuk terus mencoba dan
tanpa disadari mampu berjalan baik. Sebelum melakukan meditasi terlebih dahulu
haruslah diberikan pemahaman bagaimana mencoba mengatasi masalah (Suryani KL.
2003).
Jika pasien insomnia ingin
mengurangi penggunaan obat untuk memperbaiki kualitas hidupnya, maka latihan
relaksasi untuk istirahat dan tidur mejadi fokus utama setelah memusatkan
pikiran (meditasi). Relaksasi dilakukan dengan berbaring. Jika tidak
memungkinkan, lakukan dengan duduk atau posisi yang dirasakan nyaman. Kemudian
lanjutkan ke tahap berikutnya sambil mengikuti langkah-langkah selanjutnya
(Suryani KL. 2003).
1. Minta pasien merasakan seluruh
otot dan organ tubuh dalam keadaan lemas (relaksasi).
2. Menutup mata perlahan.
3. Mengosongkan pikiran, perasaan, dan
angan-angan. Biarkan tubuh dan mental beristirahat.
4.
Minta untuk merasakan getaran atau tenaga dari ujung-ujung jari kaki, perlahan
naik ke lutut, kemudian ke pangkal paha, rasakan getaran lewat otot-otot.
5.
Lalu rasakan getaran/tenaga menyebar keperut, rasakan sampai semua getaran
menurun (istirahat).
6.
Naikkan getaran sampai dada. Rasakan gerakan pernafasan perlahan dan melemah, denyut
jantung pada dad kiri perlahan melemah.
7.
Kemudian minta untuk merasakan getaran dari bokong dan sumsum tulang belakang bagian
bawah, naik ke bahu secara perlahan. Rasakan seluruh otot yang dilalui dalam keadaan
relaksasi.
8.
Rasakan getaran/tenaga dari ujung jari tangan ke bahu, naik pelan-pelan.
Rasakan dengan keadaan relaksasi.
9.
Selanjutnya minta untuk merasakan seluruh getaran/tenaga yang datang dari dada,
punggung, dan lengan menyatu sampai leher. Rasakan otot-otot di leher dalam keadaan
relaksasi.
10.
Rasakan getaran/tenaga naik ke muka. Rasakan seluruh otot muka, otot mata dalam
keadaan relaksasi.
11.
Rasakan getaran/tenaga sampai otak secara perlahan melemah atau istirahat.
12.
Rasakan tenaga keluar dari ubun-ubun.
13.
Selanjutnya rasakan tenaga dari luar masuk ketubuh melewati ubun-ubun hingga
turun sampai keujung jari kaki.
14.
Ulangi beberapa kali cara di atas. Jika pasien tertidur biarkan terus tertidur,
hingga otomatis terbangun.
15. Setelah pasien merasa segar,
sebelum bangun kembalikan keadaan seperti semula. Merasakan otot dan organ
tubuh berfungsi seperti semula termasuk pikiran bekerja seperti biasa. Setelah
pasien sadar ada di tempatnya, baru minta membuka mata.
Teknik
relaksasi meditasi dilakukan dalam waktu 10-15 menit. Relaksasi seperti di atas
dapat dilakukan sendiri, sehabis bekerja berat, merasa lelah dan saat menjelang
tidur (Suryani KL. 2003).
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prinsip penanganan insomnia secara
umum yaitu mengidentifikasi faktor penyebab, dimana fokus utama dari pengobatan
insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor
penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah
yang mendasarinya, karena hanya dengan mengobati insomnia saja tanpa menangani
penyebab utamanya jarang memberikan hasil. Pada kebanyakan kasus insomnia dapat
disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan
benar. Selain mencari faktor penyebab selanjutnya yang penting yaitu dengan
pemberian terapi non-farmakologi dan farmakologi dimana pemberian terapi ini
diberikan secara kombinasi. Prinsip dasar penanganan terapi farmakologi yaitu:
Jangan menggunakan obat Barbiturat dan non-barbiturat sebagai satu-satunya
terapi pengobatan maka harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi.
Pemberian obat golongan Barbiturat dan non-barbiturat dimulai dengan dosis yang
rendah selanjutnya dinaikan perlahan – lahan sesuai kebutuhan. Hati – hati penggunaan
obat golongan Barbiturat dan non-barbiturat yang dikombinasikan dengan obat lain
karena dapat memberikan efek yang tidak diinginkan. Monitor pasien untuk
melihat apakah ada toleransi obat atau ketergantungan obat atau penghentian
penggunaan obat. Memberikan edukasi kepada pasien efek penggunaan obat Barbiturat
dan non-barbiturat. Melakukan tapering obat secara perlahan untuk menghindari
penghentian obat dan terjadi rebound insomnia.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah tentang
Interaksi Obat pada Penanganan Insomnia, diharapkan agar pembaca dapat
mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dalam penanganan insomnia,
baik dalam aspek farmakologi maupun non-farmakologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Astin
JA, Shapiro SL, Eisenberg DM, Forys KL.2003. Mind-Body Medicine: State of the
Science, Implication for Practice. Journals of American Board Familly Practice
Budur
K, Rodriguez C, Schaefer NF.2007. Advances in Treating Insomnia. Cleaveland
Clinic Journal of Medicine
Erika
N. Susan L. John ED.2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June
Foley
DJ, Monjan A, Simonsick EM, Walace RB, Blazer DG.1999. Incidence and remision
of insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6,80 persons over
thre years. Sleep
Foley
DJ, Monjan AA, Brown SL, Simonsick EM, Walace RB, Blazer DG. 1995. Sleep
complaints among elderly persons: an epidemiologic study of thre communit es.
Sleep
Goetz
CG.2003. Sleep and Wakefulness. Textbook of Clinical Neurology. 2nd ed. USA: Saunders
Iskandar
J. 2002. Gangguan Tidur. Fakultas kedokteran bagian bedah. North Sumatera
University Press
Jack D. Edinger
et al. 2001. Cognitive Behavioral therapy for treatment of chronic primary insomnia.
Jama. American Medical Association
Kandel
ER, Schwartz JH, Jessell TM. 2003. Sleep and Dreaming. Principles of Neural
Science. 4th ed. USA : McGraw-Hill
Karen Baxter. 2008. Stockley Drug
Interactions. A source book of
interactions, their mechanisms, clinical importance and management. 8th ed.
London. Pharmaceutical press
Karl
D. 2006. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ
Levin
KH, Luders HO. 2003. Phsiology of Sleep. Comprehensive Clinical
Neurophysiology. Philadelphia: W.B. saunders Company
Najib
J. 2006. Eszopiclone, a Nonbenzodiazepine Sedative-Hypnotic Agent for the
Treatment of Transient and Chronic Insomnia. Journal of Clinical Therapeutics
R.George
L, Cynthia G. 2010. Nonpharmacologic Aproaches to the Management on Insomnia.
JAOA
Richard
H. 1989. Interaksi obat. Institute Technology Bandung Press
Sadock BJ,
Sadock VA, Ruiz P. 2009. Sleep Disorders. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry Volume II. 9th ed. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins
Suryani KL. 2003. Meditasi Mencapai Hidup
Bahagia. Denpasar: Bali Press
Synder N, Lindquist R. 2010.
Complementary & Alternative Therapies in Nursing. 6th ed. New York:
Springer Publishing Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar