Senin, 06 April 2015

INTERAKSI OBAT PADA PENANGANAN INSOMNIA


MAKALAH INTERAKSI OBAT
TENTANG
“INTERAKSI OBAT PADA PENANGANAN INSOMNIA”


OLEH:
KELOMPOK 8
KELAS II-B
ROSINA RESTI
RISKA
SRI BULQIES FAISAL
SRI HERMIYANTI
SUNARTI NINDYASARI

DOSEN  :Hj. GEMY NASTITY H, S. Si, M. Si, Apt


AKADEMI FARMASI SANDI KARSA
MAKASSAR
2014




KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yangtelah memberi rahmat dan karunia- Nya sehingga makalah tentang “Interaksi Obat Pada Penanganan Insomnia” ini dapat terselesaikan. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat.
           
            Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yangtelah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

 Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.




                                                                                                Makassar, 18 November 2014


                                                                                                Penyusun

            Kelompok 8







BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain. Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin meningkat sehingga menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari, kecendrungan untuk mempergunakan obat Barbiturat dan non-barbiturat, tanpa menentukan lebih dahulu penyebab yang mendasari penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang baru akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal diatas, jelas bahwa gangguan tidur merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering diderita masyarakat di dunia, baik secara primer maupun dengan adanya kondisi yang komorbid. Berdasar pada hal tersebut, insomnia dapat menjadi masalah yang serius pada tingkat pelayanan kesehatan primer. Dokter umum harus mampu mendiagnosis insomnia serta mampu melakukan terapi yang tepat bagi si pasien. Faktor psikososial diperkirakan memiliki suatu hubungan yang terkait terhadap derajat beratnya insomnia, seperti tingkat kesehatan, keadaan depresi, kepercayaan yang salah terhadap tidur, efektifitas diri, dan faktor kependudukan. Dengan mengetahui hubungan faktor psikososial dan insomnia, diharapkan mampu menciptakan pola penatalaksanaan insomnia yang holistik.




1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.      Pengertian insomnia
2.      Tipe-tipe tidur fisiologis
3.      Klasifikasi dari insomnia
4.      Mekanisme tidur normal dan insomnia
5.      Penyebab insomnia dan penanganannya
6.      Interaksi obat pada penanganan insomnia

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari insomnia
2.      Untuk mengetahui tipe-tipe dari tidur fisiologis
3.      Untuk mengetahui klasifikasi dari insomnia
4.      Untuk mengetahui mekanisme tidur normal dan insomnia
5.      Untuk mengetahui penyebab insomnia dan penanganannya
6.      Untuk mengetahui bagaimana interaksi obat pada penanganan insomnia

1.4  Manfaat
Dengan adanya makalah  ini, maka pembacatidak hanya mengetahui pengertian dari insomnia saja, tetapi dapat mengetahui dan memahami lebih jauh tentang tipe-tipe, klasifikasi, mekanisme, dan penyebab insomnia dan penanganannya hingga mengetahui bagaimana interaksi obat pada penanganan insomnia serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.







BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Insomnia
            Insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur atau kesulitan untuk mempertahankan
tidur, atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat
terbangun (Jack D. 2001).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV) mendefinisikan insomnia sebagai suatu kesulitan dalam memulai tidur; mempertahankan tidur; atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih, sehingga menyebabkan gangguan klinis signifikan atau distress (Sadock BJ. 2009).
            Sebuah studi mengungkapkan bahwa kejadian insomnia mempengaruhi hingga 15% - 40% populasi dunia. Insomnia memiliki predominansi terhadap perempuan. Sekitar 25% kasus
insomnia dialami pada usia 65 -79 tahun dan 14% terjadi pada usia 18 – 34 tahun (Najib J. 2006).
            Penelitian yang dikerjakan oleh Buysse dkk pada 216 pasien, menunjukkan prevalensi
insomnia sekunder lebih banyak daripada yang primer dan sering terkait dengan gangguan mental, gangguan pernafasan atau fisik, dan penggunaan obat-obatan (Budur K. 2007).

2.2 Tidur Fisiologis
            Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akankembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus. Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Iskandar J. 2002)

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa (Iskandar J. 2002).
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1. Tidur stadium Satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang
rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K (Iskandar J. 2002).
2. Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K (Iskandar J. 2002).
3. Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle (Iskandar J. 2002).
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle (Iskandar J. 2002).
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awall tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut (Iskandar J. 2002).
- NREM (75%) yaitu stadium 1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%
- REM; 25 %.

2.2  Klasifikasi Insomnia
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagit pe insomnia. Salah satu metode adalah berdasarkan pada durasi gejala, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu insomnia dan akut. National Instiutes of Health (NIH) State-of-the-Science 2005menyatakan bahwa periode jangka waktu yang berbeda telah digunakan untuk mendefinisikan insomnia kronis, mulai dari 30 hari hinga 6 bulan (Karl D. 2006).
Berbeda dengan insomnia akut/ransien, insomnia transien selalunya disebabkanlingkungan yang spesifik atau peristiwa sosial, seperti kerja shift, kematian orang yang dicintai, perjalanan lewat udara, kebisingan dan mungkinlebih tepat ditangani dengan menangani stres ini dan menangani insomnia secara langsung (dan sering sebagai profilaksis). Di sisi lain, insomnia kronis mungkin lebih sering dikaitkan dengan ganguan tidur intrinsik, insomnia primer atau kondisi medis dan psikiatris yang kronis dan mungkin membutuhkan evaluasi lebih lanjut (termasuk penilaian kondisi komorbiditas) untuk menentukan pengobatan yang tepat. Namun, perlu ditekankan bahwa hubungan antara durasi tidur, etiologi, dan implikasi dari evaluasi belum juga diselidiki (Erika N.2004).
Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu subtipe primer dan sekunder. Istilah primer menandakan bahwa insomnia yang tidak disebabkan oleh kondisi fisik atau mental yang diketahui tetapi ditandai oleh satu kumpulan gejala yang konsisten, perjalanan penyakit yang pasti dan respon umum terhadap pengobatan, meskipun etiologi insomnia primer belum diklarifikasi, penelitan terbaru mengaitkan endokrin, neurologi, dan faktor-faktor perilaku sebagaipenyumbangterhadap pathogenesisnya. Diperkirakan bahwa diantara pasien yangdidiagnosis dengan insomnia,25% sampai 30% menderita insomnia primer. Sebaliknya, insomnia sekunder didefinisikan secara historis sebagai insomnia yang disebabkan oleh penyakit medis dan psikiatris lain yangdisebabkan pengunaan obat- obatan atau ganguan tidur primer lainnya. Bagaimanapun, NIH State-of-the- Science statement 2005, telah menyarankan pengunan istilah komorbidinsomnia, daripada insomnia sekunder, yang berdasarkan pada terbatasnya tingkat pemahaman mengenai hubungan kausal yang terjadi antara insomnia dan ganguan penyerta. Insomnia primer dapat terjadi secara independen dalam konteks ganguan lain (Karl D. 2006).
Internasional Classification of Sleep Disorders (Iskandar J. 2002)
1. Dissomnia
• Gangguan tidur intrisik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
• Gangguan tidur ekstrisik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat Barbiturat dan non-barbiturat atau stimulant.
• Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma fase terlambat tidur, sindroma fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
2. Parasomnia
• Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional
• Gangguan antara bangun-tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara,kramkaki, gangguan gerak berirama
• Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arrest
• Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia parosismal.
3. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
• Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol
• Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindroma.
• Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma fibrositis, refluks gastrointestinal, penyakit paru kronik (PPOK).


2.4  Penyebab Insomnia
Perkiran prevalensi insomnia bervariasi karena definisi dan kriteria diagnostic untuk insomnia adalah tidak konsisten. Selain itu, pengunan penilaian awal dan kontrol untuk membuktikan insiden dan tingkat remisi dapat menimbulkan masalah karena spektrum durasi insomnia yang luas (misalnya, pada awalnya ditemukan positf insomnia dan pada saat kontrol 1 tahun berikutnya menunjukan insomnia kronis atau 2 episode insomnia transien) (Karl D. 2006).
Dengan keterbatasan ini,secara umumnya diyakinkan bahwa 10% hinga 15% orang dewasa menderita insomnia kronis, biasanya diangap sebagai insomnia persisten selama lebih dari 1 bulan durasi, dan tambahan sepertiga memiliki insomnia transien atau sementara (Karl D. 2006).
Orang usia lanjut khususnya mengalami insomnia, dengan prevalensi diperkirakan antara 13% hinga 47%.9,10Tiga tahun studi longitudinal oleh National Instiute on Aging’s Established Populations for Epidemiologic Studies of the Elderly (EPESE) menunjukan bahwa 42% dari komunitas yang lanjut usia yang berpartisipasi dalam survei mengalami kesulitan memulai dan mempertahankan tidur (Foley DJ. 1995).
Kesulitan tidur lebih sering di kalangan orang usia lanjut dengan cacat pada fisik, depresi, gejala pernapasan dan mereka yang sedang mendapatkan pengobatan anticemas dan barbiturat. Kontrol3 tahun oleh EPESE, Foley et al memperkirakan insiden dan tingkat remisi untuk insomnia adalah lebihdari 600 peserta dari survei asalnya. Antara 4956 peserta yang tidak memil ki gejala insomnia pada awal, hampir 15% melaporkan gejala pada control 3 tahun berikutnya , mengusulkan kejadian tahunan adalah 5% (Foley DJ. 1999).
Dalam studi yang sama, sekitar 15% peserta, mengalami pengurangan gejala insomnia setiap tahun nya. Ekstrapolasi hasil ini ke populasi umum, penulismemperkirakan bahwa 8 juta orang usia lanjut di seluruh negara menderita insomnia pada setiap hari tertentu, lebih dari satu juta kasus baru insomnia berkembang setiap tahun, dan gejala-gejala insomnia hilang pada hampir 1,3 juta orang usia lanjut setiap tahun. Ganguan tidur juga berhubungan dengan ganguan memori dan konsentrasi dan dapat disalahartikan sebagai tanda-tandademensia di kalangan orang usia lanjut (Foley DJ. 1999).
Meskipun kebanyakan studi epidemiologi menunjukan bahwa wanita lebih cenderung memilki kesulitan tidur daripada laki-laki, studi EPESE melaporkan angka yang sebanding pada kedua jenis kelamin. Pengecualian untuk persaman ini terjadi pada pasien 85 tahun atau lebih, di mana prevalensi lebih tingi bagi laki-laki.1studi EPESE juga menunjukan bahwa wanita rendah kemungkinan untuk mencapai remisi (46% pada wanita berbanding 52% pada laki-laki), prevalensi yang lebih tingi pada wanita dilaporkan dalam studi epidemiologi lainyang menunjukan sedikit remisi pada wanita. Hipotesis ini didukung olehtemuan Cardiovascular Health Study 2005 yang melaporkan bahwa remisi kurangberlaku pada wanita berbanding laki-laki (R.George L. 2010).
Selain studi EPESE pasien usia lanjut, beberapa studi longitudinal lain ya telah membantu untuk mengklarifikasi perjalanan alamiah insomnia kronis. Breslau et al melakukan penilaian awal dan kontrol 3,5 tahun berikutnya pada 120 orang dewasa muda (21-30 tahun) yang diambil secara acak dari data organisasi pemeliharan kesehatan. Prevalensi insomnia pada populasi ini adalah 24, 6%, dan sedikit lebih tingi pada wanita dibandingkan laki-laki (26,7% berbanding 21,4%). Insiden insomnia baru pada 3,5 tahun pada peserta yang pada awalnya tidak mengalami insomnia, adalah 14,8% untuk wanita dan 10,6% untuk laki-laki, sedikit kurang dibandingkan tingkat kejadian dilaporkan oleh studi EPESE (Karl D. 2006).
Sebelum mencari diagnosa penyebab suatu gangguan tidur, sebaiknya ditentukan terlebih dahulu jenis danlamanya gangguan tidur (duration of sleep disorder), dengan mengetahui jenis dan lamanya gangguan tidur, selain untuk membantu mengidentifikasi penyebabnya, juga dapat memberikan pengobatan yang adekuat (Iskandar J. 2002).
·      Pada tahun 1984, The International Institute of Health membuat suatu konsensus pengelompokan gangguan tidur berdasarkan lamanya gangguan yang terdiri dari:
1. Transient yaitu jika gangguan tidurnya kurang dari 7 hari.
2. Short term yaitu jika gangguan tidurnya menetap lebih dari 7 hari dan kurang dari 3 minggu. Kedua gangguan tersebut biasanya berhubungan dengan stress yang akut seperti perubahan kehidupan sosial, peningkatanemosional, faktor lingkungan, faktor sistemik, kelainan gangguan kesehatan, desinkronisaso irama sirkadian.
3. Long term yaitu jika gangguan tidur menetap lebih dari 3 minggu. Biasanya berhubungan dengan gangguan tidur primer, gangguan psikiatri, gangguan kesehatan, gangguan psikologi.
·      Pada tahun 1990, American Sleep Disorders Association membuat reklasifikasi untuk mencari kemungkinan penyebab gangunan tidur menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1.   Dissomnia, misalnya gangguan intrisik, gangguan ekstrisik, gangguan irama sirkadian.
2.   Parasomnia, misalnya gangguan aurosal, gangguan bangun-tidur, berhubungan fase REM.

2.5    Mekanisme Tidur Normal dan Insomnia
Manusia dewasa tidur hampir sepertiga waktu hidupnya. Saat tidur, terjadi proses yang bersifat dinamis, bersiklus dan memiliki tahapan yang berbeda. Tidur terbagi ke dalam 2 tipe : Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM) (Goetz CG. 2003).
Tidur malam yang normal terdiri dari siklus konstan antara tidur NREM dengan tidur REM. Pada usia dewasa muda, hanya terjadi 4-6 siklus tidur setiap malamnya, yang berawal dari tidur NREM. Orang dewasa dapat memulai tidur dalam waktu 15-20 menit, dan mengalami tidur laten selama 30 menit. Lebih dari itu dikatakan mengalami pemanjangan. Tidur laten didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai onset tidur dimulai dari waktu seseorang berbaring dan mematikan penerangan. Tidur NREM terbagi menjadi 4 tahap. Tahap 1 NREM berlangsung beberapa menit dan masuk ke tahap 2, begitu juga selanjutnya masuk ke tahap 3 dan 4. Kemudian masuk ke tahap tidur REM setelah melewati fase REM laten. REM laten merupakan istilah berupa interval diantara onset tidur tahap 1 NREM dengan periode awal tidur REM. Biasanya berlangsung selama 90 menit dan berlangsung konstan dalam siklusnya. Setelah semuanya terlewati dari onset awal tidur hingga akhir tidur REM disebut satu siklus tidur, dan akan berulang ke siklus selanjutnya (Levin KH. 2003).
Tahap 1 dan 2 disebut tidur ringan, tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam. Hasil pemeriksaan menggunakan electroencephalography (EEG) pada tidur tahap 1 menemukan dominasi ritme gelombang theta dibandingkan ritme gelombang alpha. Ritme tersebut memiliki amplitudo rendah bercampur dengan aktivitas gelombang delta(Levin KH. 2003).
Tahap 1 meliputi 5% keseluruhan waktu tidur. Ditandai dengan pergerakan lambat pada bola mata dengan arah horizontal. Tahap 2 meliputi 55% waktu tidur (Goetz CG. 2003).
Fase ditandai dengan munculnya kompleks K (gelombang tajam negatif diikuti komponen positif) pada rekaman EEG. Pada saat ini muncul aktivitas gelombang theta dan gelombang delta bervoltase rendah atau sedang, nampak pada sleep spindle (Levin KH.2003).
Tahap 3 ditandai dengan penemuan aktivitas gelombang delta bervoltase tinggi sebanyak 20%. Jika aktivitas gelombang delta bervoltase tinggi mencapai 50%, maka akan masuk tidur NREM tahap 4 (Levin KH. 2003).
Dua puluh persen dari total waktu tidur saat malam hari, merupakan fase tidur tahap 3 dan 4 (Goetz CG. 2003).
Saat malam hari, tidur REM pada manusia dewasa muncul setelah 90-100 menit setelah onset tidur, yang akan diikuti dengan tidur NREM. Tidur REM rata-rata berlangsung singkat dalam semalam. Secara progresif durasinya akan memanjang, yang paling lama terjadi saat pagi hari. Tidur REM pada bayi dapat mencapai 50-80% total tidur, sedangkan pada usia 2 tahun dan orang dewasa akan menurun frekuensinya hingga 20%. Tidur REM ditandai aktivitas gelombang theta dan gelombang delta yang tidak beraturan. Gelombang ini memiliki voltase rendah (mirip tahap 1 tidur NREM). Tidur REM juga ditandai dengan penurunan aktivitas otot (atonia pada seluruh otot, kecuali otot pernafasan) dan pergerakan cepat dari bola mata (saat bola mata bergerak cepat, EEG menangkap ritme gelombang delta atau theta) (Levin KH. 2003).
Stimulasi pada bagian hipotalamus posterior, di daerah rostral bagian otaktengah, menghasilkan arousal yang dimediasi neuron histaminergik. Neuron ini menghubungkan sel-sel batang otak dengan sel-sel yang berada di otak depan. Kerusakan pada bagian ini menimbulkan peningkatan jumlah tidur. Sama halnya dengan memberikan antihistamin. Sebaliknya pada hipotalamus anterior dan batas bagian basal otak depan dengan cepat memicu kondisi tidur. Lesi di bagian ini dapat  5menyebabkan berkurangnya waktu tidur (memicu insomnia) (Levin KH. 2003).
Neurotransmiter inhibitor Gamma Amino Butyric Acid (GABA) / non-REM-on cells merupakan mediatornya. Sel-sel tersebut dapat memicu tidur dengan menghambat sel-sel histaminergik pada hipotalamus posterior begitu juga yang dilakukan pada nuclei retikularis oralis pontis di otak tengah yang memicu arousal. GABA aktif saat tidur NREM dan inaktif saat tidur REM (Kandel ER. 2003).
2.6    Penanganan Insomnia
Ø  Penanganan dengan terapi farmakologi
Hampir semua orang pernah menglami insomnia, terutama pada saat tegang yang tidak lazim atau pada saat kecewa. Untuk jangka pendek dokter dapat memberikan sedative atau pil tidur (Richard H. 1989).
Dua jenis obat yang biasa diberikan sebagai pil tidur adalah senyawa barbiturat dan non-barbiturat. Pil tidur yang diperdagangkan secara bebas mengandung antihistamin yang menimbulkan efek samping mengantuk (dalam halini efek samping yang dikehendaki) (Richard H. 1989).
·         Nama Paten(Richard H. 1989)
1.      Pil tidur Barbiturat
Fenobarbital                            Luminal
Alurate                                                Mebaral
Amytal                                                Nembutal
Butisol                                     Seconal
Carbrital                                  Sedadrops
Eskabarb                                 Solfoton
Lotusate                                  Tuinal
2.      Pil tidur Non-Barbiturat
Ativan (lorazepam) – juga diberikan sebagai trankuilansia siang hari
Dalmane (flurazepam) Placidyl (etklorfinol)
Doriden (glutetimid)               Quaalude (metakualon)
Halcion (triazolam)                 Restoril (temazepam)
Noctec (kloral hidrat)              Somnos (kloral hidrat)
Noludar (metiprilon)               Triclos (triklofos)
Parest (metakualon)                Valmid (etinamat)
3.      Pil tidur dengan Antihistamin (tanpa resep dokter)
Compoz (difenhidramin)        Sleep-Eze (pirilamin)
Nervine (pirilamin)                  Sominex (pirilamin)
Nytol (pirilamin)                     Sominex Formula 2 (difenhidramin)
Quiet World (pirilamin)          Unisom (doksilamin)
·         Interaksi Obat pada Penanganan Insomnia
Pil Tidur – Depresan lain
Pil tidur adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Kelompok obat depresan yang berinteraksi dan nama paten (Richard H. 1989):
Alkohol (bir, minuman keras, anggur, dll)
Antikolinergik – Penggunaan dan nama paten: Obat yang digunakan untuk mengendalikan tremor karena penyakit Parkinson atau karena pengobatan dengan antipsikotika: Akineton, Artane, Cogentin, Kemadrin, Pagitane.
Antidepresan (jenis siklik) – Digunakan untuk mngurangi tekanan mental. Nama paten: Adapin, Asendin, Aventyl, Desyrel, Elavil, Endep, Etravon, Limbitrol, Ludiomil, Norpramin, Pamelor, Petrofrane, Sinequan, Surmontil, Tofranil, Trivial, Vivactil.
Antihistamin (digunakan untuk alergi, flu). Nama Paten: Actidil, Antivert, atarax, Benadryl, Bendectin, Bonine, Chlor-Trimeton, clistin, Decapryn,Dimetane, Dramamine, Hitadyl, Inhiston, Marezine,  Optimine, PBZ, Periactin, Polaramine, Pyronil, Travist, Teldrin, Triten, Vistaril.
Antipsokotika (digunakan pada gangguan mental berat). Nama paten: Compazine,Haldol, Loxitane, Mellaril, Moban, Navane, Proketazine, Prolixin, Quide, Serentil, Sparine, Stelazine, Tractan, Thorazine, Tindal, Trilafon, Vesprin.
Fenfluramine (Pondimin), (pil pelangsing).
Obat Tekanan Darah Tinggi (Nama paten dalam kurung): Klonidin (Catapres, Combires), Guanabenz (Wytensin), Metildopa (Aldoclor, Aldomet, Aldoril).
Pelemas Ototnama paten: Dantrium, Flexeril, Lioresal, Norflex, Norgesic, Paraflex, Quinamm, Rela, Robaxin, skelaxin, Valium.
Narkotika, sediaan mengandung kodein: Ascriptin m/Kodein, Bancap m/Kodein, Bufferin m/Kodein, Empirin m/Kodein, Tylenol m/Kodein.
Sediaan narkotika atau mirip narkotika lainnya: Demerol, Dolophene, Morfin, Merpergan Fortis, Norcet, Numorphan, Vicodan, Zactirin.
Propoksifen (penghilang rasa nyeri): Darvocet-N, Darvon, Dolene, Wygesic.
Trankuilansia
Trankuilansia benzodiazepine: Ativan, Centrax, Librium, Limbitrol, (juga suatu antidepresan, Paxidam, Serax, Tranxene, Valium, Xanax.
Trankuilansia non-benzodiazepin: Atarax, Equanil, Meprospan, Mebrotab, Miltown, Trancopal, Vistaril (Karen Baxter, 2008).
Barbiturat – Kortikosteroida
            Efek kortikosteroida dapat berkurang. Kortikosteroida diberikan untuk mengobati artritis, alergi berat, asma, gangguan endokrin, leukemia, colitis dan enteritis (inflamasi saluran intestinal), dan berbagai penyakit kulit, paru-paru, dan mata. Akibatnya: Kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten kortikosteroida (nama generic dalam kurung):
Aristocort (triamsinolon)                     Kenacort (triamsinolon)
Celestone (betametason)                     Medrol (metilprednisolon)
Coetef (hidrokortison)                                    Meticorten (prednisone)
Barbiturat – Digitoksin (Crystodigin, Purodigin)
            Efek digitoksin dapat berkurang. Digitoksin digunakan untuk layu jantung dan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur. Akibatnya: Gangguan jantung mungkin tak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Doksisiklin (Doxychel, Vibramycin, Vibratab)
            Efek doksisiklin dapat berkurang. Doksisiklin adalah antibiotika yang digunakan untuk mengobati infeksi. Akibatnya: Infeksi mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Estrogen (hormone wanita)
            Efek estrogen dapat berkurang. Estrogen digunakan untuk mengatasi kekurangan estrogen selama mati haid dan sesudah histerektomi untuk mencegah pembengkakan yang nyeri pada payudara sesudah melahirkan karena ibu tidak menyusui bayinya, dan untuk mengobati amenore. Akibatnya: kondisi yan diobati mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten estrogen:
Amen                          Menrium
Aygestin                      Milprem
DES                            Norlutate
Barbiturat – Asam Folat (Vitamin B9)
            Efek asam folat dapat berkurang. Asam folat adalah salah satu komponen vitamin B komplekx. Akibatnya: Mungkin kekurangan asam folat dengan disertai gejala tak bertenaga, kehilangan daya ingat yang tak lazim, kulit muka pucat, gelisah dan mudah terangsang, dan gangguan saluran cerna. Untuk melawan efek interaksi, gunakan vitamin tambahan yang mengandung asam folat atau bauh segar dan sayuran hijau lainnya setiap hari (Richard H. 1989).
Barbiturat – Griseofulvin
            Efek griseofulvindapat berkurang. Griseofulvin digunakan secara oral untuk melawan infeksi jamur pada rambut, kulit, kuku jari tangan, dan kuku jari kaki. Akibatnya: Infeksi mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Nama paten griseofulvin:
Fulvicin P/G                            Grisactin
Fulvicin U/F                            Gris-PEG
Grifulvin
Barbiturat – Metadon (Dolophine)
            Efek metadon dapat berkurang. Metadon adalah narkotika penghilang rasa nyeri yang digunakan untuk membantu membbaskan pecandu obat dari ketergantungan pada heroin dan narkotika lainnya. Akibatnya: Kecanduan mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Fenitoin (Dilantin)
            Efek fenitoin dapat berkurang. Fenitoin adalah antikonvulsan yang diberikan untuk mengendalikan kejang pada gangguan seperti ayan. Akibatnya: Gangguan kejang mungkin tidak terkendali dengan baik. Karena dokter sering menulis resep yang mengandung barbiturate bersama-sama dengan fenitoin untuk mengendalikan kejang, kadar-darah obat harus dipantau untuk menetukan takaran obat yang tepat pada setiap pasien secara peroranagan. Obat fenitoin lain menunjukkan interaksi adalah Mesantoin (mefenitoin) dan Peganone (etotoin) (Richard H. 1989).
Barbiturat – Kinidin
            Efek kinidin dapat berkurang. Kinidin adalah antiaritmika yang digunakan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tidak beraturan. Akibatnya: Ketidakteraturan denyut jantung mungkin tidak terkendali (Richard H. 1989).
Nama paten kinidin:
Cardioquin                              Quinidex
Duraquin                                 Extentabs
Quinaglute Dura-Tabs             Quinora
Barbiturat – Kinin (Coco-Quinine, Quinamm, Quine)
            Efek kinin dapat berkurang. Kinin adalah obat malaria yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan dapat pula digunakan untuk menghilangkan kejang kaki pada malam hari. Akibatnya: kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).
Barbiturat – Rifampin (Rifadin, Rimactane)
            Efek berbiturat dapat berkurang. Akibatnya: Insomnia mungkin tidak hilang benar. Rifampin digunakan untuk mengobati tuberculosis dan dapat pula diberikan pada orang yang diperkirakan pengidap meningitis (Richard H. 1989).
Barbiturat (hanya fenobarbital) – Asam Valproat (Depakene)
            Efek fenobarbital dapat meningkat. Akibatnya: karena kedua obat adalah depresan susunan saraf pusat, waspadalah terhadap gejala depresan berlebihan seperti mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental. Asam valproate adalah antikonvulsan yang digunakan untuk mencega kejang pada gangguan seperti ayan (Richard H. 1989).
Kloral Hidrat (Noctec, Somnos) – Alkohol (bir, minuman keras, anggur, dll)
            Kombinasi ini dapat menimbulkan reaksi seperti yang disebabkan oleh disulfiram. Disulfiram (Antabuse) adalah obat yang diberikan kepada pecandu alcohol untuk menekan keinginan minum alcohol sehingga menimbulkan efek samping yang hebat. Kloral hidrat menunjukkan intraksi dan gejala yang sama seperti pusing, muka merah, sakit kepala, dan napas pendek (Richard H. 1989).
Kloral Hidrat (Noctec, Somnos) – Antikoagulan
            Efek antikoagulan dapat berkurang. Antikoagulan digunakan untuk mngencerkan darah dan untuk mencegah pembekuan. Akibatnya: Risiko perdarahan meningkat. Gejala yang dilaporkan: Memar atau perdarahan diseluruh tubuh dan tinja hitam pekat (Richard H. 1989).
Nama paten antikoagulan (nama generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin)                     Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin)                             Miradon (anisindion)
Coumadin (warfarin)                          Panwarfin (warfarin)

Etklorvinol (Placidyl) – Antikoagulan
            Efek antikoagulan dapat berkurang. Antikoagulan digunakan untuk mngencerkan darah dan untuk mencegah pembekuan. Akibatnya: Darah tetap membeku meskipun dilakukan pengobatan dengan antikoagulan (Richard H.1989).
Nama paten antikoagulan (nama generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin)                     Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin)                             Miradon (anisindion)
Coumadin (warfarin)                          Panwarfin (warfarin)
Etinamat (Valmid)
            Etinamat adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Flurazepam (Dalmane) – Antidepresan (jenis siklik)
            Efek antidepresan dapat berkurang. Antidepresan digunakan untuk meringankan tekanan mental dan unuk memperbaiki suasana hati. Akibatnya: Tekanan mental mungkin tidak terkendali dengan baik. Catatan: Antidepresan trazadon (Desyrel) mungkin tidak berinteraksi kecuali yang berikut ini: Karena keduanya adalah depresan susunan saraf pusat, dapat terjadi kelelahan tubuh yang berlebihan disertai gejala mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam beberapa kasus, terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan sehingga menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Nama paten obat antidepresan (nama generic dalam kurung):
Adapin (doksepin)                              Ludiomil (maprotilin)
Asendin (amoksapin)                          Norpramin (desipramin)
Aventyl (trazadon)                              Pamelor (nortriptilin)
Desyrel (trazadon)                              Pertofrane (desipramin)
Elavil (amitriptilin)                              Sinequan (doksepin)
Flurazepam (Dalmane) – Obat Asma (golongan teofilin)
            Efek obat asma dapat berkurang. Obat asma digunakan untuk membuka jalan udara diparu-paru dan untuk mempermudah pernapasan penderita asma. Akibatnya: Asma mungkin tidak sembuh dengan sempurna (Richard H. 1989).
Nama paten obat asma golongan teofilin (nama generic dalm kurung):
Accubron (teofili)                               Respbid (teofilin)
Bronkodyl (teofilin)                            Slo-phyllin (teofilin)
Choledyl (okstrifilin)                          Somophyllin (aminofilin)
Dilor (difilin)                                       Somophyllin-T (teofilin)
Elixicon (teofilin)                                Sustaire (teofilin)
Sediaan campuran mengandung teofilin: Amesec, Asbron G, Brondecom, Marax, Mudrane, Quibron, Tdral SA.
Flurazepam (Dalmane) – Pil KB
            Efek pil KB dapat berkurang. Akibatnya: Risiko hamil meningkat 25 kali, kecuali jika digunakan cara kontrasepsi lain. Perdarahan yang sekonyong-konyong adalah gejala kemungkinan terjadinya interaksi (Richard H. 1989).
Nama paten pil KB:
Brevicon                                  Nordette
Demulen                                  Norinyl
Enovid                                                Norlestrin
Loestrin                                   Ortho-Novum
Lo-Ovral                                 Ovcon
Flurazepam (Dalmane) – Simetidin (Tegamet)
            Efek flurazepam dapat meningkat. Akibatnya: Sedasi berlebihan dan penekanan susunan saraf pusat disertai gejala pusing, mengantuk, nanar; dalam kasus berat, terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan yang menyebabkan koma dan kematian. Simetidin digunakan untuk mengobati tukak lambung dan usus (Richard H. 1989).
Flurazepam (Dalmane) – Estrogen (hormon wanita)
            Efek estrogen dapat berkurang. Estrogen digunakan untuk mengatasi kekurangan estrogen selama mati haid dan sesudah histerektomi untuk mencegah pembengkakan yang nyeri pada payudara sesudah melahirkan karena ibu tidak menyusui bayinya, dan untuk mengobati amenore. Akibatnya: kondisi yan diobati mungkin tidak terkendali dengan baik (Richard H. 1989).


Nama paten estrogen:
Amen                                      Menrium
Aygestin                                  Milprem
DES                                        Norlutate
Estinyl                                     Norlutin
Estrace                                                Ogen
Estratab                                   PMB
Flurazepam (Dalmane) – Levodopa (Dopar, Levodopa, Sinemet)
            Efek levodopa dapat berkurang. Levodopa digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson. Akibatnya: Kondisi yang diobati mungkin tidak terobati denan baik (Richard H. 1989).
Flurazepam (Dalmane) – Rifampin (Rifadin, Rimactane)
            Efek flurazepam dapat berkurang. Akibatnya: Insomnia mungkin tidak terobati dengan baik. Rifampin digunakan untuk mengobati penyakit tuberculosis dan tidak boleh diberikan pada pasien yang mengidap meningitis (Richard H. 1989).
* Glutetimid (Doriden) – Antikoagulan
            Efek antikoagulan dapat berkurang.Antikoagulan digunakan untuk mengencerkan darah dan mencegah pembekuan. Akibatnya: Darah mungkin tetap membeku pada waktu dilakuukan pengobatan dengan antikoagulan (Richard H.1989).
Nama paten antikoagulan (nama generic dalam kurung):
Athrombin-K (warfarin)                     Hedulin (fenindion)
Coufarin (warfarin)                             Miradon (anisindion)
Coumadin (warfarin)                          Panwarfin (warfarin)
Triazolum (Halcion)
            Lihat interaksi Flurazepam.
Lorazepam (Ativan)
            Lihat interaksi Flurazepam.
Metakualon (Parest, Quaalude)
            Metaqualon adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Metiprilon (Noludar)
            Metiprilon adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kesadaran .penekanan atau gangguan fungsi yang berlebihan dapat terjadi bila pil tidur digunakan bersama dengan obat lain yang juga menekan susunan saraf pusat. Akibatnya, dapat mengantuk , pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus yang berat terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasanyang menyebabkan koma dan kematian (Richard H. 1989).
Temazepam (Restoril)
            Lihat interaksi Flurazepam.
Triklofos (Triclos) – Alkohol (bir, minuman keras, anggur, dll)
            Kombinasi ini dapat menyebabkan reaksi yang sama dengan reaksi yang disebabkan oleh disulfiram. Disulfiram (Antabuse) adalah obat yang diberikan kepada pecandu alcohol untuk menekan keinginan minum alcohol – obat bereaksi dengan alcohol sehingga menimbulkan efek samping yang hebat. Triklofos menunjukkan interaksi dan gejala yang sama seperti pusing, muka merah, sakit kepala, dan nafas pendek (Richard H. 1989).

Ø  Penangan dengan terapi non-farmakologi
Mind Body Therapy (MBT) merupakan suatu intervensi yang menggunakan teknik bervariasi digunakan untuk meningkatkan kemampuan pikiran sehingga dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan memperbaiki keluhan. Contohnya : berimajinasi, meditasi, yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi dan terapi seni (Synder N. 2010).
Diantara teknik-teknik tersebut, relaksasi dan meditasi paling banyak dipilih oleh masyarakat, mencapai 10-16.3%. Berdasarkan review uji coba dan meta analisa, MBT memberi manfaat terapi bila diberikan tunggal ataupun sebagai adjuvan terapi farmakologi (Astin JA. 2003).
Dalam meditasi telah diterapkan teknik relaksasi, sehingga meditasi merupakan terapi alternatif yang memiliki sifat praktis dan bermanfaat. Meditasi adalah suatu proses pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian, dilakukan secara sadar. Proses berjalan bertahap sesuai keteraturan latihan, dapat dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman yang diperoleh akan merangsang untuk terus mencoba dan tanpa disadari mampu berjalan baik. Sebelum melakukan meditasi terlebih dahulu haruslah diberikan pemahaman bagaimana mencoba mengatasi masalah (Suryani KL. 2003).
Jika pasien insomnia ingin mengurangi penggunaan obat untuk memperbaiki kualitas hidupnya, maka latihan relaksasi untuk istirahat dan tidur mejadi fokus utama setelah memusatkan pikiran (meditasi). Relaksasi dilakukan dengan berbaring. Jika tidak memungkinkan, lakukan dengan duduk atau posisi yang dirasakan nyaman. Kemudian lanjutkan ke tahap berikutnya sambil mengikuti langkah-langkah selanjutnya (Suryani KL. 2003).
1. Minta pasien merasakan seluruh otot dan organ tubuh dalam keadaan lemas (relaksasi).
2. Menutup mata perlahan.
3. Mengosongkan pikiran, perasaan, dan angan-angan. Biarkan tubuh dan mental beristirahat.
4. Minta untuk merasakan getaran atau tenaga dari ujung-ujung jari kaki, perlahan naik ke lutut, kemudian ke pangkal paha, rasakan getaran lewat otot-otot.
5. Lalu rasakan getaran/tenaga menyebar keperut, rasakan sampai semua getaran menurun (istirahat).
6. Naikkan getaran sampai dada. Rasakan gerakan pernafasan perlahan dan melemah, denyut jantung pada dad kiri perlahan melemah.
7. Kemudian minta untuk merasakan getaran dari bokong dan sumsum tulang belakang bagian bawah, naik ke bahu secara perlahan. Rasakan seluruh otot yang dilalui dalam keadaan relaksasi.
8. Rasakan getaran/tenaga dari ujung jari tangan ke bahu, naik pelan-pelan. Rasakan dengan keadaan relaksasi.
9. Selanjutnya minta untuk merasakan seluruh getaran/tenaga yang datang dari dada, punggung, dan lengan menyatu sampai leher. Rasakan otot-otot di leher dalam keadaan relaksasi.
10. Rasakan getaran/tenaga naik ke muka. Rasakan seluruh otot muka, otot mata dalam keadaan relaksasi.
11. Rasakan getaran/tenaga sampai otak secara perlahan melemah atau istirahat.
12. Rasakan tenaga keluar dari ubun-ubun.
13. Selanjutnya rasakan tenaga dari luar masuk ketubuh melewati ubun-ubun hingga turun sampai keujung jari kaki.
14. Ulangi beberapa kali cara di atas. Jika pasien tertidur biarkan terus tertidur, hingga otomatis terbangun.
15. Setelah pasien merasa segar, sebelum bangun kembalikan keadaan seperti semula. Merasakan otot dan organ tubuh berfungsi seperti semula termasuk pikiran bekerja seperti biasa. Setelah pasien sadar ada di tempatnya, baru minta membuka mata.
            Teknik relaksasi meditasi dilakukan dalam waktu 10-15 menit. Relaksasi seperti di atas dapat dilakukan sendiri, sehabis bekerja berat, merasa lelah dan saat menjelang tidur (Suryani  KL. 2003).


 


BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prinsip penanganan insomnia secara umum yaitu mengidentifikasi faktor penyebab, dimana fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya, karena hanya dengan mengobati insomnia saja tanpa menangani penyebab utamanya jarang memberikan hasil. Pada kebanyakan kasus insomnia dapat disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan benar. Selain mencari faktor penyebab selanjutnya yang penting yaitu dengan pemberian terapi non-farmakologi dan farmakologi dimana pemberian terapi ini diberikan secara kombinasi. Prinsip dasar penanganan terapi farmakologi yaitu: Jangan menggunakan obat Barbiturat dan non-barbiturat sebagai satu-satunya terapi pengobatan maka harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi. Pemberian obat golongan Barbiturat dan non-barbiturat dimulai dengan dosis yang rendah selanjutnya dinaikan perlahan – lahan sesuai kebutuhan. Hati – hati penggunaan obat golongan Barbiturat dan non-barbiturat yang dikombinasikan dengan obat lain karena dapat memberikan efek yang tidak diinginkan. Monitor pasien untuk melihat apakah ada toleransi obat atau ketergantungan obat atau penghentian penggunaan obat. Memberikan edukasi kepada pasien efek penggunaan obat Barbiturat dan non-barbiturat. Melakukan tapering obat secara perlahan untuk menghindari penghentian obat dan terjadi rebound insomnia.

3.2  Saran
Setelah membaca makalah tentang Interaksi Obat pada Penanganan Insomnia, diharapkan agar pembaca dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dalam penanganan insomnia, baik dalam aspek farmakologi maupun non-farmakologi.




DAFTAR PUSTAKA

Astin JA, Shapiro SL, Eisenberg DM, Forys KL.2003. Mind-Body Medicine: State of the Science, Implication for Practice. Journals of American Board Familly Practice
Budur K, Rodriguez C, Schaefer NF.2007. Advances in Treating Insomnia. Cleaveland Clinic Journal of Medicine
Erika N. Susan L. John ED.2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June
Foley DJ, Monjan A, Simonsick EM, Walace RB, Blazer DG.1999. Incidence and remision of insomnia among elderly adults: an epidemiologic study of 6,80 persons over thre years. Sleep
Foley DJ, Monjan AA, Brown SL, Simonsick EM, Walace RB, Blazer DG. 1995. Sleep complaints among elderly persons: an epidemiologic study of thre communit es. Sleep
Goetz CG.2003. Sleep and Wakefulness. Textbook of Clinical Neurology. 2nd ed. USA: Saunders
Iskandar J. 2002. Gangguan Tidur. Fakultas kedokteran bagian bedah. North Sumatera University Press
Jack D. Edinger et al. 2001. Cognitive Behavioral therapy for treatment of chronic primary insomnia. Jama. American Medical Association
Kandel ER, Schwartz JH, Jessell TM. 2003. Sleep and Dreaming. Principles of Neural Science. 4th ed. USA : McGraw-Hill
Karen Baxter. 2008. Stockley Drug Interactions.  A source book of interactions, their mechanisms, clinical importance and management. 8th ed. London. Pharmaceutical press
Karl D. 2006. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ
Levin KH, Luders HO. 2003. Phsiology of Sleep. Comprehensive Clinical Neurophysiology. Philadelphia: W.B. saunders Company
Najib J. 2006. Eszopiclone, a Nonbenzodiazepine Sedative-Hypnotic Agent for the Treatment of Transient and Chronic Insomnia. Journal of Clinical Therapeutics
R.George L, Cynthia G. 2010. Nonpharmacologic Aproaches to the Management on Insomnia. JAOA
Richard H. 1989. Interaksi obat. Institute Technology Bandung Press
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. 2009. Sleep Disorders. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry Volume II. 9th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
Suryani KL. 2003. Meditasi Mencapai Hidup Bahagia. Denpasar: Bali Press
Synder N, Lindquist R. 2010. Complementary & Alternative Therapies in Nursing. 6th ed. New York: Springer Publishing Company


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar